Selasa, 08 November 2016

PANCAMAYA

Lelaki pulang dengan hati sunyi Seperti bukit-bukit batu di tebing Kali alang Dia pandangi sawah ladang Dia tekuni jatuh lembutnya cahaya Duh, Gusti yang Menjadikan Jadi Yang menciptakan cipta Diantara kehidupan dan gagahnya cita-cita Yang menitahkan bunga melati berbau wangi, dan menitipkan kewangian seseorang di hati Bukan kekuasaan yang dibawa mati ... Duh, Gusti ... Peluklah hamba dengan Rahman Rahim-Mu

Jumat, 04 November 2016

SANG KYAI (SILSILAH KARTASURA)

Sebelum mengupas tetentang Kyai Nur Iman Mlangi, penulis akan memaparkan secara singkat beberapa kejadian berdasarkan sejarah yang sangat erat kaitannya dengan riwayat Kyai Nur Iman Mlangi. Pada tanggal 06 Juli 1704, Pangeran Puger yang mempunyai nama asli Raden Mas Drajat ( Beliau adalah putera dari Amangkurat I dengan isteri permaisuri keturunan Keluarga Kajoran ) diangkat menjadi raja bergelar Susuhunan Pakubuwana Senapati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa atau disingkat dengan Pakubuwana I. menurut catatan sejarah, Pangeran Puger juga pernah menyandang gelar sebagai Amangkurat II dikarenakan adanya pertentangan antara kakak pangeran Puger yang bernama Raden Mas Rahmat dengan Amangkurat I (Ayahanda mereka ), sehingga Pangeran Puger diangkat menjadi Putera Mahkota. Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1677, Mas Rahmat menolak ditugasi ayahnya untuk mempertahankan kraton Mataram Kertosuro yang pada saat itu beribukota di Plered. Ia memilih mengungsi kearah Barat. Pangeran Puger kemudian tampil melaksanakan tugas itu sebagai bukti bahwa tidak semua keturunan Kajoran mendukung Trunojoyo. Dengan kejadian inilah kemudian Pangeran Puger menyandang gelar Amangkurat II. Namun , karena kekuatan pemberontak yang sangat besar akhirnya Pangeran Puger menyingkir ke Jenar. Di sana Beliau mendirikan kerajaan Purwakanda dan berpusat di Jenar. Ia mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Susuhunan Ingalaga. Setelah Trunojoyo kembali ke Kediri, Susuhunan Ingalaga segera merebut Plered dan mengusir anak buah Trunojoyo yang ditempatkan di kota itu. Amangkurat I meninggal di daerah Tegalwangi / Tegalarum. Raden Mas Rahmat menjadi Raja tanpa Tahta dengan Gelar Amangkurat II. Hal Ini disebabkan karena Plered sebagai ibukota Mataram saat itu diduduki dan dipertahankan oleh Pangeran Puger ( Amangkurat II ) yang lebih memilih mempertahankan Plered daripada mengungsi. Amangkurat II Raden Mas Rahmat kemudian memilih membangun Kraton baru dengan nama Kartosuro pada bulan September 1680. Ia kemudian memanggil Susuhunan Ingalaga / Amagkurat II Pangeran Puger untuk bergabung dengannya, akan tetapi oleh Pangeran Puger ditolak, sehingga terjadilah perang saudara. Pada tanggasl 28 November 1681. Susuhunan Ingalaga Amangkurat II Pangeran Puger menyerah kepada Jacob Couper, pemimpin pasukan VOC, yang membantu Amangkurat II Raden Mas Rahmat. Susuhunan Ingalaga kemudian kembali bergelar Pangeran Puger dan RM Rahmat bergelar Amangkurat II. Berdasar peristiwa inilah Kyai Nur Iman Mlangi kadang juga disebut sebagai Amangkurat IV, akan tetapi bukan Amangkurat Jawa, karena Amangkurat Jawa yang ada dalam sejarah adalah RM. Suryo Putro ( putra Pengeran Puger/ Ayah Kyai Nur Iman Mlangi ). Antara Amangkurat II RM. Rahmat dan Pangeran Puger memiliki perbedaan sikap yang sangat mencolok. Amangkurat II cenderung bersifat lemah hati dan tidak teguh pendirian, sedangkan Pangeran Puger bersifat sangat tegas. Maka gelar Amangkurat II pada saat itu seperti simbol belaka, karena yang lebih banyak menjalankan roda pemerintahan saat itu adalah Pangeran Puger yang memang ditunjuk sebagai tangan kanan Amangkurat II RM. Rahmat. Pangeran Puger wafat pada tahun 1719. Salah satu putera Pangeran Puger adalah RM. Suryo Putro. Dikisahkan ia meninggalkan kraton Mataram menuju ke arah timur / brang wetan, tepatnya sampai di Pondok Pesantren Gedangan Surabaya yang pada saat itu diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin. Hal ini dikarenakan adanya perebutan tahta dan perselisihan antar saudara di kalangan istana yang merupakan ulah adu domba Belanda. RM. Suryo Putro kemudian menjadi santri disana dengan berganti nama M. Ihsan. Pada suatu saat tepatnya dalam kegiatan rutin selapanan ( 35 hari sekali ) yang diadakan di ponpes tersebut, diadakan pengajian yang tanpa disangka dihadiri oleh Adipati Wironegoro ( ini adalah gelar anugrah yang diberikan Amangkurat II kepada Untung Suropati yang ikut membantuh dalam pembunuhan Pimpinan Kompeni yang bernama Kapten Tack), M. Ihsan menjadi ketua santri dan ikut menghidangkan hidangan untuk para tamu yang hadir. Saat mondar mandir di depan Adipati tersebut, ia diamati oleh sang Adipati. Karena merasa bahwa adipati pernah bertemu sebelumnya dan yakin bahwa santri tersebut adalah seorang bangsawan, maka setelah pengajian selesai, sang adipati tidak langsung pulang tetapi malah menyuruh Kyai A. Muhsin untuk memanggil Santri M. Ihsan tersebut. Setelah bertemu dan bercakap- cakap akhirnya diketahuilah bahwa M. Ihsan memang seorang bangsawan. M. Ihsan dan Adipati akhirnya berpesan agar Kyai merahasiakan keberadaan M. Ihsan dan menganggap ia sebagai santri biasa agar tidak sampai ketahuan oleh keluarga kerajaan. Sebelum pulang, Adipati Wironegoro berpesan agar M. Ihsan sudi berkunjung ke kadipaten dengan menyamar. Akhirnya pada waktu yang telah ditentukan M Ihsan bersama Kyai datang ke kadipaten dengan alasan akan menyampaikan pesan kepada adipati tersebut agar tetap merahasiakan keberadaannya kepada kelurga Kraton. Setelah beberapa waktu berjalan dan melalui pertimbangan yang matang, akhirnya diambillah kesepakatan antara Adipati, kyai A. Muhsin dan M. Ihsan untuk menikahkan M Ihsan dengan Putri Adipati tersebut yang bernama RA. Retno Susilowati. Setelah menikah, putri tersebut diboyonglah ke ponpes Gedangan. Sementara itu, sepeninggal RM. Suryo Putro ternyata keadaan kerajaan semakin kacau hingga akhirnya terciumlah keberadaan M. Ihsan oleh keluarga Kraton. Sang Raja kemudian mengirim utusan untuk menjemput pulang M. Ihsan ke Mataram. Karena itu merupakan perintah Raja, maka M. Ihsan tidak berani menolak. Sebelum ia pulang ke kraton, ia menitipkan istrinya yang sedang hamil ke kyai A. Muhsin dan berpesan "Kelak jika anaknya lahir laki laki harap diberi nama RM. Sandeyo, tetapi jika perempuan, pemberian nama terserah Kyai". Kyai juga diminta mengasuhnya dan mendidiknya hingga mumpuni, karena kelak ia kan dijemput pulang ke kraton Mataram. Ternyata bayi yang lahir itu benar laki - laki dan kemudian oleh kyai diberi nama RM. Sandeyo, selain itu oleh Kyai bayi itu juga diberi nama M. Nur Iman. Setibanya di kraton Mataram, RM. Suryo Putro langsung dinobatkan sebagai raja bergelar Amangkurat JAWA/ Amangkurat IV. Ia memerintah pada tahun 1719 - 1726. Sebelum Beliau meninggal, Beliau teringat pernah menitipkan istri pertamanya yang sedang hamil di ponpes Gedangan yang diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin, dan mungkin anak dalam kandungan itu telah lahir dan telah dewasa. Akhirnya Beliau mengutus utusan untuk menjemput pulang anak tersebut. Seiring waktu berlalu Nur Iman / RM Sandeyo telah tumbuh dewasa dan telah menjadi pemuda yang mumpuni dalam ilmu agama dan lainnya, hingga pada suatu saat datang lah utusan tersebut dan meminta RM Sandeyo untuk pulang ke Mataram. Akhirnya M. nur Iman mau untuk pulang, akan tetapi Beliau tidak mau pulang bersama dengan utusan tersebut. setelah pamit pada Kyai Abdullah Muhsin dan mendengarkan semua pesan nasihat dari Kyai, maka RM. Sandeyo berangkat ke Mataram dengan ditemani dua sahabat dekatnya yang bernama Sanusi dan Tanmisani. Sesuai dengan nasihat Kyai, maka sepanjang perjalanannya mereka tanpa henti berdakwah menyebarkan ilmu agama dan mendirikan Ponpes, hingga perjalan sampai ke Mataram memakan waktu agak lama. Ponpes yang didirikan M. Nur Iman antara lain ponpes yang ada di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Kyai Abdullah Muhsin juga mempunyai keyakinan kuat bahwa kelak M. Nur Iman akan menjadi Ulama besar dan termasyhur. Sesampainya di Kraton, M. Nur Iman langsung sungkem kepada Ayahhandanya ( Amangkurat Jawa / IV ) dan kemudian dikenalkan kepada semua kerabat kraton , juga adik - adiknya. Selain itu ia juga dianugerahi gelar KGHP. Kertosuro dan mendapat rumah kediaman di Sukowati. Pada saat terjadinya perang saudara antara adik - adiknya yakni Pangeran Sambernyowo / RM. Said dan Pangeran Mangkubumi / RM. Sujono, juga dengan terjadinya huru - hara antara bangsa Tionghoa dengan kompeni Belanda yang terkenal dengan GEGER Pecinan, M. Nur Iman bersama sahabatnya memilih meninggalkan istana ke arah barat untuk mencari tempat yang akan mereka dirikan pesantren. Selain berdakwah, mereka juga menanamkan jiwa patriotisme melawan kompeni kepada para rakyat yang mereka temui. Perjalanan ke barat itu sampai pada daerah hutan. Disana kemudian beliau bersama kedua abdinya bertapa untuk meminta petunjuk yang akhirnya pada waktu duha beliau mendapat petunjuk tempat yang bercahaya dan berbau wangi. Setelah itu beliau kemudian menghentikan tapanya dan membuat selamatan berupa ingkung yang dicampur dengan nasi jagung. Setelah selamatan selesai, beliau kemudian mulai membabad hutan tersebut untuk dijadikan lahan yang akhirnya menjadi desa mlangi. Berasal dari kata melang - melang ( bercahaya ) dan wangi ( harum ) serta tempat untuk mengajar ( mulangi ) agama Islam. tempat bertapa beliau kini berada di antara 4 saka masjid mlangi. Kyai Nur Iman kemudian mulai berdakwah di sana. Suatu ketika beliau pergi ke daerah yang bernama Kulon Progo. kedatangannya diterima dengan senang hati oleh demang yang bernama Hadiwongso ( penguasa daerah Gegulu ), yang kemudian demang beserta keluarganya tersebut memeluk islam. Dengan sangat hormat demang tersebut memohon agar M. Nur Iman sudi menikah dengan putrinya. Akhirnya M. Nur Iman dinikahkan dengan putri nya yang bernama Mursalah, sedangkan kedua sahabatnya juga dinikahkan dengan putrinya yang lain yang bernama Maemunah ( menikah dengan Sanusi ) dan Romlah ( menikah dengan Tanmisani). Perselisihan antar kedua saudara M.Nur Iman tersebut akhirnya berakhir dengan perjanjian di desa Giyanti pada tahun 1755, kemudian dikenal dengan perjanjian Giyanti yang isinya antara lain : 1. Kerajaan Mataram Kertosuro dibagi menjadi 2 bagian, - dari Prambanan ke timur menjadi milik Susuhunan Pakubuwono III, beribukota di Surokarto - dari Prambanan ke barat menjadi milik Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwana I, beribukota di Yogyakarta. 2. Pangeran Sambernyowo / RM. Said diberi kedudukan sebagai adipati dengan gelar Adipati Mangkunegara I dan diperbolehkan mendirikan sebuah Puro yang kemudian diberi nama Puro Mangkunegara. Setelah peristiwa itu, keadaan kraton baru Jogjakarta masih belum aman. Kemudian atas permintaan dari banyak kerabat, akhirnya Kyai Nur Iman menjabat sebagai Raja I dengan gelar Hamengku Buwana I Yogyakarta. Hal ini untuk mengalap berkah dari beliau sebagai seorang ulama besar, semoga dengan perantara beliau Ketentraman segara tercapai. Setelah keadaan menjadi tenteram, Kyai Nur Iman kemudian kembali lagi ke mlangi dan diserahkannya Kraton Yogyakarta kepada adiknya ( pangeran mangkubumi ) dan bergelar Hamengku Buwana I. Zaman Pemerintahan Hamengku Buwana I merupakan zaman keemasan Yogyakarta Hadiningrat. Setelah Hamengku Buwana I wafat, pemerintahan digantikan oleh putranya yan g bernama RM. Sundoro yang bergelar Hamengku Buwana II. Beliau sangat nasionalis dan rela berkorban untuk rakyatnya. Terlebih dalam pengembangan agama. hal ini terlihat dengan baiknya hubungan antara ulama dan umaro pada saat itu. Pada masa pemerintahaan Hamengku Buwana II inilah Kyai Nur Iman Mlangi mengarahkan agar Raja membangun Empat Masjid besar untuk melengkapi dan mendampingi masjid yang sudah berdiri terlebih dahulu yaitu masjid yang berada di kampung Kauman , di samping kraton. Masjid yang akan dibangun tersebut disaranklan oleh Kyai Nur iman dibangun di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari. Keempat masjid tersebut adalah : di sebelah Barat terletak di dusun Mlangi di sebelah Timur terletak di desa Babadan di sebelah Utara terletak di desa Ploso Kuning Di sebelah Selatan terletak di desa Dongkelan. Adapun pengurus masjid tersebut adalah putra - putra Kyai Nur Iman Mlangi yakni : Masjid Ploso Kuning di urus oleh Kyai Mursodo Masjid babadan diurus oleh kyai Ageng Karang Besari Masjid Dongklelan diurus oleh Kyai Hasan Besari Masjid Mlangi diurus oleh Kyai Nur Iman Mlangi sendiri Masjid - masjid tersebut kemudian terkenal dengan Masjid Kagungan Dalem atau Masjid Kasultanan, dan pengurus takmir pada saat itu termasuk abdi dalem kraton. Sesuai dengan Amanah Hamengku Buwana II, maka Hamengku Buwana III melakukan perlawanan kepada penjajah. Sikap patroitisme dan nasionalisme tersebut beliau wariskan kepada putranya yang bernama Kanjeng Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro dengan semangat tinggi dan keyakinan Jihad Fi sabillillah memerangi Belanda. Hal ini tercermin dari pakaian yang ia kenakan. Perang Diponegoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830. Perang Diponegoro ini pun melibatkan anak cucu dari Mbah Kyai Nur Iman Mlangi. salahsatu putra Kyai Nur Iman Mlangi yang gugur dalam perang ini bernama Kyai Salim. Beliau wafat di desa Ndimoyo. Selanjutnya beliau terkenal dengan sebutan Kyai Sahid. Tipu daya licik Belanda akhirnya dapat mengakhiri perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro tertangkap di Magelang dalam sabuah perundingan. Pengawal Pribadi Pangeran Diponegoro juga iku ditangkap saat itu. Ia bernama Kyai Hasan Besari yang merupakan putra dari Kyai Nur Iman Mlangi. Mereka kemudian diasingkan ke Menado. Setelah Perang Diponegoro berakhir, kompeni berani menghadap Hamengku Buwana III. Kompeni membujuk dan memutar balikkan fakta kepada Sultan dengan mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro dan pengikutnya adalah pemberontak. hal ini membuat pengikut Pangeran Diponegoro yang masih tersisa termasuk para putra wayah Mbah Kyai Nur Iman Mlangi tidak berani kembali ke desanya karena takut ditangkap kompeni. Di mana tempat yang dianggap aman, disanalah mereka tinggal. Sehingga secara tidak langsung terjadilah penyebaran penduduk dan keturunan dari Kyai Nur Iman Mlangi yang tidak hanya tersebar di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah saja , tetapi juga menyebar hingga ke Jawa Barat dan Jawa Timur, bahkan ada yang di luar Jawa. Sementara itu Mbah Kyai Nur Iman memilih tinggal di desa Mlangi sampai akhir hayatnya. Kyai Nur Iman Mlangi dimakamkan di belakang masjid. Makam tersebut kemudian terkenal denan sebutan makan Pangeran Bei / Pesareyan Kagungan Dalem Kasultanan, sehingga gapura masuk Kompeks tersebut bercirikan Kraton. Seperti makam para Auliya' dan Ulama besar yang lain, makam Mbah Kyai Nur Iman juga banyak dikunjungi peziarah baik rombongan maupun perorangan yang berasal dari luar daerah, bahkan ada yang berasal dari luar pulau Jawa. Putra mbah Kyai Nur Iman Mlangi ada yang diangkat sebagai Bupati Kedu, Beliau bernama Kyai Taptojani. Ada juga yang diangkat sebagai penghulu Kraton Yogyakarta. Beliau bernama Kyai Nawawi. Sampai saat ini di desa Mlangi berdiri beberapa Ponpes yaitu : 1. PP. Al Miftah yang diasuh oleh Kyai Sirrudin dan diteruskan oleh KH. Munahar 2. PP As Salafiyyah yang diasuh oleh Kyai Masduqi dan diteruskan oleh KH. Suja'i Masduqi 3. PP. Al Falahiyyah yang diasuh oleh KH. Zamrudin dan diteruskan oleh Nyai hj. Zamrudin 4. PP. Al Huda yang diasuh oleh KH. Muchtar Dawam 5. PP. Mlangi Timur yang diasuh oleh KH. Wafirudin dan diteruskan oleh Nyai Hj. Wafirudin 6. PP. Hujjatul Islam yang diasuh oleh KH. Qothrul Aziz 7. PP. As Salimiyyah yang diasuh oleh KH. Salimi 8. PP. An Nasyath yang diasuh oleh KH. Sami'an 9. PP. Ar Risalah yang diasuh oleh KH. Abdullah 10. PP. Hidayatul Mubtadin yang diasuh oleh KH. Nur Iman Muqim Adapun Ponpes yang ada diluar Yogyakarta dan masih keturunan Mbah Kyai Nur Iman Mlangi adalah : 1. PP. Watu Congol Muntilan yang diasuh oleh KH. Ahmad Abdul Haq 2. PP. Tegalrejo Magelang yang diasuh oleh KH. Abdurrahman Khudlori 3. PP. Al Asy'ariyyah Kalibeber Wonosobo yang diasuh oleh KH. Muntaha 4. PP. Bambu runcing Parakan Temanggung yang diasuh oleh KH. Muhaiminan 5. PP. Secang Sempu Magelang yang diasuh oleh KH. Ismail Ali 6. PP. Addaenuriyyah 2 Semarang yang diasuh oleh KH. Dzikron Abdullah Karya Mbah Kyai Nur Iman Mlangi antara lain : 1. Kitab Taqwim ( Ringkasan Ilmu Nahwu ) 2. Kitab Ilmu Sorof ( Ringkasan Ilmu Sorof ) Di museum Diponegoro Magelang juga terdapat peninggalan dari Pangeran Diponegoro berupa kitab yang selalu Beliau baca. Kitab tersebut adalah kitab karya Mbah Kyai Nur Iman Mlangi Pada Tahun 1953 Masjid Mlangi diserahkan kepada rakyat dan diberi nama Masjid Jami' Mlangi. Serah terima dari Hamengku Buwana IX kepada masyarakat diwakili oleh alim ulama dan tokoh masyarakat, antara lain : 1. Kyai Sirudin 2. Kyai Masduki 3. M. Ngasim Tradisi peninggalan Mbah Kyai Nur Iman Mlangi yang masih dilestarikan sampai saat ini antara lain : 1. Ziaroh / ngirim ahli kubur dengan membaca tahlil dan Al Quran, surat Al Ikhlas dan lain lain. 2. Membaca sholawat Tunjina ( untuk memohon keselamatan di dalam setiap hajatan ) 3. Membaca sholawat Nariyah ( untuk memohon keselamatan pada hajatan seperti orang hamil dan lain lain ) 4. Membaca kalimat Thoyyibah, tahlil Pitung Leksa ( Khususnya jika diperlukan untuk obat / tombo sapu jagad ) 5. Manakib Abdulqodiran 6. Barjanji / Rodadan 7. Sholawatan / Kojan dan lain- lain. Salahsatu murid Mbah Kyai Nur Iman Mlangi yang berhasil meneruskan perjuangannya di jawa timur adalah Kyai Abdul Karim ( salahsatu dari tiga orang pendiri pondok pesantren Lirboyo Kediri ), dimana salahseorang cucunya yakni Kyai Maksum ( Gus Maksum ) juga mewarisi kakeknya tidak hanya di dunia dakwah, melainkan juga di dunia pencaksilat Indonesia. Untuk mengenang dan menghormati jasa Mbah Kyai Nur Iman Mlangi, para Alim Ulama dan tokoh masyarakat sepakat mengadakan khaul yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Suro / Muharram malam tanggal 15. Silsilah Mataram Kertosuro ( PUSTAKA DARAH ) dan Kyai Ageng Mlangi Brawijaya Terakhir ; Bondan Gejawan ( Ki Ageng Tarub III ); Ki Ageng Getas Pandawa; Ki Ageng Sela; Ki Ageng Nis; Kyai Ageng Pemanahan; Panembahan Senopati; Prabu Anyokrowati; Prabu Sultan Agung Anyokrokusumo Prabu Amangkurat I Prabu Amangkurat II ( Pangeran Puger ) Prabu Amangkurat IV ( Amangkurat Jawa ) RM. Suryo Putro RM Suryo Putro menurunkan 1. RM. Sandeyo ( Kyai Nur Iman Mlangi / KGP Angabehi Kertosuro ) 2. KPA. Mangkunegoro I 3. KPA. Danupojo 4. RA. Pringgolojo 5. K. Susuhunan PB. II Surokarto 6. KPA. Pamot 7. KPA. Hadiwidjojo 8. KPA. Hadinegoro 9. K. Ratu Madunegoro 10. K. Sultan HB. I Ngajogjakarta 11. KP. Rogo Purboyo 12. KGPA. Panular 13. KGPA. Blitar 14. RA. Surodiningrat 15. KPA. Buminoto - Sultan Dandun Mertengsari - Adipati Setjoningrat - Panembahan Bintoro 16. KP. Singosari ( KP. Joko ) 17. KGPA. Mataram 18. KGP. Martoseno 19. RA. Hendronoto 20. KGPA. Selarong 21. KGPA. Prang Uledono 22. KGPA. Buminoto RM. sandeyo ( Kyai Nur Iman Mlangi ) mempunyai 5 orang istri yaitu : 1. Garwa Gegulu, dari istri ini beliau menurunkan ; 1. RM. Mursodo 2. RM. Nawawi 3. RM Syafangatun 4. RM. TAptojani - Kyai Kedu 5. RA. Cholifah / Kyai Mansyur 6. RA. Muhammad 7. RA. Nurfakih / Murfakiyyah 8. RA. Muso - Kyai Sragen 9. RM Chasan Bisri / Muhsin Besari 10. RA. Mursilah Ngabdul Karim 2. Garwa Surati, dari istri ini beliau menurunkan ; 1. RA Muhammad Soleh 2. RM Salim 3. RA. Jaelani 3. Garwa Kitung, dari istri ini beliau menurunkan ; 1. RA. Abutohir 2. RA. Mas Tumenggung 4. Garwa Bijanganten, dari istri ini beliau menurunkan ; 1. RA. Nurjamin 5. Garwa Putri Campa, dari istri ini beliau menurunkan ; 1. RM. Masyur Muchyidinirofingi ( Kyai Guru Loning ) 1. RM. Mansyur Muchyidinirofingi (KYAI GURU LONING) peputra : saking garwa Puteri Pengulu Demak : 1. RM. Haji Abdurrahman Pengkol saking garwa Alang - alang Amba Purworejo : 1. RA. Nyai Haji Abdul Ghani Kauman Purworejo ( putra gawan ) 2. RA. Nyai Haji Ishack Alang – alang Amba ( putra gawan ) 3. Nyai Fatimah / Kyai Sayyid Taslim Tirip 4. RA. Jamilah ( Nyai Sangid ) Luning 5. RM. Haji Muhammad Nur Pengulu Landrat Purworejo 6. RM. Kyai Bustam Kemiri saking garwa Puteri Patih Dipodirjo : 1. Haji Yusack al Hafidz ( putra gawan ) 2. Palil ( putra gawan ) 3. RM. Muhammad Zein guru Qurro Solotiyang Loano 4. RM. Kyai Mahmud Luning Kemiri 5. RA. Nyai Istad ( Kyai Abdurrohman Bedug Bagelen ) 6. RM. Haji Soleh Kyai Luning Kemiri saking garwa Puteri Lurah Kroyo Purworejo : 1. RM. Hamid Sucen Tritis Bayan Purworejo saking garwa Puteri Kyai Soleh Qulhu Salaman Magelang : 1. RM. Haji Abdullah Mahlan Luning Menurut catatan, Kyai Nur Iman Mlangi Juga menikah dengan putri dari Jepara dan mempunyai 7 orang putra. Adapun catatan selengkapnya belum penulis dapatkan

Jumat, 21 Oktober 2016

KH. Abdullah Sajad Sendangguwo

Silsilah KH. Abdullah Sajad Sendangguwo KH. Abdullah Sajad adalah putra dari seorang ulama' bernama KH. Ahmad Rifa'i di daerah Kedung mundu Semarang dan cucu seorang Panglima perang Pangeran Diponegoro bernama Ngabdurrochman cucu dari ulama' terkemuka yang menurunkan ulama'-ulama' khususnya di Jawa Tengah yaitu KH. Nur Iman Mlangi dari beliau silsilah berlanjut sampai Maulana Ahmad Jumadil Qubro, ada juga yang menyambungkannya pada Brawijaya V. Dahulu Sendangguwo Semarang merupakan tempat yang banyak dipakai untuk praktik kemaksiatan. Terutama mengeramatkan Sendangguwo yang dulu berbentuk sebuah sendang (tempat pemandian-Red) dan di tengah sendang itu terdadat sumber air berbentuk gua di dasar air. Konon, tempat itu didiami oleh banyak makhluk halus (Jin). Karena itu, tidak banyak yang berani mengambil air di tengah-tengah sendang tersebut. Pada umumnya warga sekitar takut celaka, karena kualat. Konon, setiap Jumat malam sering terdengar suara lesung yang dipukul bertalu-talu. Anehnya, ketika didengar secara seksama, suara itu hilang. Sekitar 500 meter sebelah barat sendang, terdapat sebuah gua yang sangat panjang. Masyarakat mempercayai gua itu berujung sampai ke daerah Kaliwungu, Kendal. Masyarakat sering memberi sesaji di dua tempat itu untuk meminta berkah dan dijauhkan dari segala macam bencana. Tekad KH. Abdullah Sajad Di tempat itu juga, sering digelar kebiasan buruk yang jauh dari nilai-nilai Islam. Setelah mengadakan pesta dan tari-tarian tayub, kemudian dilaksanakan pertandingan pencak dan minum-minuman keras. Tradisi ini berlangsung secara turun-temurun hingga kedatangan KH. Abdullah Sajad. KH. Abdullah Sajad adalah seorang pemuda alim keturunan RM Sandeyo (KH. Nur Iman Mlangi) dan merupakan santri terdekat KH. Sholeh Darat, ulama karismatik yang juga intelektual muslim penyebar agama Islam abad ke-18 di Semarang, selain itu beliau juga menjadi murid di Madrasah Saulathiyah Makkah. Melihat kondisi masyarakat Sendangguwo yang begitu parah, dia merasa tertantang untuk berdakwah agama, dan memperbaiki moral dan akhlak masyarakat sekitar. Dia kemudian memutuskan untuk tinggal di tempat itu. Terdengar pula sebuah cerita tentang kesaktian KH. Abdullah Sajad, suatu ketika dia ditantang oleh seorang jawara yang memiliki ilmu berkelahi dan ilmu kanuragan tinggi. Dia memerintah muridnya yang bernama Ma'ruf, agar menghadapi sang jawara itu. Hasilnya, Ma'ruf berhasil mengalahkannya. Dengan demikian, banyak masyarakat sekitar yang segan dan menghormatinya. Dan kisah lain juga terdengar santer bahwa yang menutup sendang keramat yang digunakan sebagai media kemusyrikan umat juga beliau. Dengan cara beliau riyadhoh kepada Allah Swt. Puasa beberapa hari dan sendang tersebut ditutup memakai batang sodo lanang (1 buah batang lidi yang jatuh menancap tanah) dengan membaca do’a “Laa Ilaaha Illa Anta Yaa Hayyu Yaa Qayyum, Yaa Hannanu Yaa Mannanu Yaa Dayyanu Yaa Sulthon”. Selang beberapa hari Masjid beliau pada waktu jam 03.00 pagi terkumandang pujian do’a itu dan anehnya yang membacakannya adalah jin penunggu sendang tersebut. Sehingga pujian menjelang shalat shubuh tersebut sampai sekarang masih sering dilantunkan di Masjin Jami’ As-sajad Sendangguwo. Minta Restu Perjuangannya kemudian diteruskan oleh putranya, KH. Abdullah Daenuri. Kebesaran KH. Abdullah Dainuri tidak kalah dari ayahnya. Kharisma kiai ini membuat banyak tentara perang meminta restu sebelum berangkat berperang melawan penjajah Belanda, kala itu. Menurut KH. Musthofa Bisri dari Rembang, KH. Abdullah Daenuri termasuk golongan mujiz, yang kali pertama memberikan ijazah ilmu hikmah. Dia wafat sekitar tahun 1972 dengan meninggalkan 11 anak. Mereka adalah KH Afif Dainuri, Hj. Munfaati, Nyai Ainun Asyhadi, KH Abdullah Sonhaji (pendiri pesantren Al Ibriz), Kiai Masqon Abdullah, dan KH Dizkron Abdullah (Mursyid Thariqah Qadiriyyah wa An Naqsabandiyyah, Ketua JATMAN Idaroh Wustho, dan Pendiri pesantren Ad Dainuriyah 2), KH. Najib Abdullah (pengasuh pesantren PP Ilarrohman as Sajad), KH. Zaenal Arifin, KH Abdillah Fikri, Nyai Najihah, dan KH. Drs. Labib Abdullah, MM. Namun dari 11 anak KH. Abdullah Daenuri yang masih hidup tinggal 4 orang diantaranya KH. Drs. Dzikron Abdullah, KH. Abdillah Fikri, KH. Drs. Labib Abdullah, MM, dan Nyai Najihah. Alhamdulillah seluruh putra-putri KH. Abdullah Daenuri yang masih bergaris keturunan KH. Abdullah Sajad terus membawa tongkat estafet dari leluhurnya, yaitu sebagai “Sirajuddin” yang bermakna pelita agama entah di mana pun mereka berada.

Senin, 05 Maret 2012

Munajat hamba akhir zaman

Wahai dzat yg menciptakan alam semesta Kami bersujud di hari kemarin, sekarang, dan seterusnya kepada-Mu Kami selalu melakukan apapun sesuai perintahMu dan akan selalu begitu . . Sampai ajal menjemput kami jika Kau kehendaki Wahai dzat yg tidak terbayangkan oleh kami . . Bagaimana kami yakin atas semua jaminanMu ? Kalau orang-orang panutan kami sendiri selalu berspekulasi dengan segala urusan duniawi yg tampak jelas, sedangkan akhiratMu terhijab rapi di dalam kekuasaanMu Bagaimana kami bisa membaca dari keyakinan mereka . . . Ya robbi . . Hamba menangis bukan karena sakit . . Hamba bersedih bukan karena kehilangan . . Hamba bersedih karena sudah jelas akan Kau akhiri dunia ini Ya Maalikal Mulki . . Tidak ada batasan bagiMu terhadap segala dimensi Tidak di dalam rumah mewah atau di pinggir sungai Maupun di dalam jejaring facebook/ twitter semua tampak jelas bagiMu . . Hamba mohon . . masih tersisa beberapa hamba2Mu yg masih ta’at dhohir dan batinnya Perhatikan mereka sebagaimana Panjenengan Tuannya . . karena wali-Mu di dunia sedang sibuk mengurus dirinya sendiri dan keluargaNya . . Ya Dzal Jalaali wal ikrom . . Maafkan segala kekurangan hamba-hambaMu di akhir zaman ini Karena kemajuan kemaksiatan sungguh pesat dibanding dengan fasilitas kebaikan Semua terjadi karena memang sudah jelas di dalam setiap riwayat hadist RasulMu Kami hanya bisa menahan dan bersabar yg luar biasa . . . Kami rindu sosok utusanMu yg luhur akhlaknya . . karena kami umat yg hanya mampu meniru Dan bila masih ada, ijinkan kami mengikutinya . . Maafkan kami ya robbal ‘alamiin, atas kebodohan kami, dan atas segala kesalahan kami . . “Robbanaa dzolamnaa anfusanaa wa inlam taghfirlanaa lana kunannaa minal khosiriin” Jum’at, 27 Januari 2012

Semarang-semarangan . .

Ada apa denganmu semarang-ku . . ? dulu pemandangan indah masih tampak gamang di setiap dataran tinggi kampung2 orang-orang ramah saling bertegur sapa, dan bahu membahu dalam kebaikan semarang . . Aku tampak asing darimu padahal aku tidak kemana-mana . . semua hewan ternak digantikan dengan anjing penjaga pohon-pohon rindang diganti dengan reklame&berhiaskan pengemis di bawahnya dan orang-orang yang dulu ramah sekarang berkelahi berebut makanan&uang . . Apa ini yang disebut kemajuan ??? Kawan . . kau sekarang ada di mana . . . ? teman yang mampu merubah derita jadi bahagia teman belajar bersama untuk saling berbagi para pemburu ilmu realita, dan diupayakan bersama . . Aku tidak lagi menemukanmu di sini sobat . . Maafkan Tuhan kalau kami salah memilih kebijakan tanpa memperhatikan keseimbangan . . dan sekarang semua tinggal kenangan mungkin ada benarnya sebuah istilah : "bila jakarta adalah ibu tiri bagimu" dan semarang "bapak tiri bagimu" . . hahaha ................. Semarang, 27 02 2012

Ketika Nabi menangis . . .

Mughirah ibn Syu’bah meriwayatkan…..Rasulullah terbiasa berlama-lama melakukan shalat malam. Saking lamanya, kedua kaki beliau sampai bengkak. Suatu ketika, beliau ditanya, kenapa masih melakukan itu padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa beliau. ” Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang selalu bersyukur ?” jawab Rasulullah, mengajak merenung kepada para sahabat. Sahabat Atha’ dan Ubaid ibn Umar menemui Aisyah. Keduanya ingin mengetahui hal yang paling menakjubkan dari Rasulullah yang Aisyah tahu. Aisyah tiba-tiba menangis, dan bercerita……..Suatu malam, ia melihat Rasulullah terbangun, Beliau meminta waktu untuk beribadah. Beliau menangis sepanjang munajatnya hingga pangkuannya basah oleh air mata. Sampai kemudian Bilal datang memberitahukan bahwa waktu subuh telah datang. Bilal melihat Rasulullah menangis, ” Bukankah dosa-dosamu telah diampuni, Rasulullah ?” tanya Bilal. Rasulullah menjawab, ” Tidakkah pantas jika aku menjadi hamba yang senantiasa bersyukur ?” Beliau lantas menceritakan bahwa serangkai ayat Al-Quran telah turun. Akan rugi orang yang membacanya tapi tidak mau merenungkannya. Dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal, yaitu mereka yang berzikir kepada Allah, baik sambil berdiri, duduk, atau berbaring, seraya merenungkan panciptaan langit dan bumi, lalu berkata, ” Ya Allah ! Tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau. Jagalah kami dari siksa neraka ” (Al Imran: 190-191).